Penulis : David Angelo Wicaksono
Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pamulang
JurnalPost.com – Rumah Ibadah adalah salah satu bentuk dari suatu kebebasan warga negara untuk dapat ber-ibadah sesuai dengan ke-yakinan / ke-percayaan nya masing-masing.
Dimana fungsi utama dari suatu rumah ibadah adalah untuk menyatukan seluruh anggota suatu agama tertentu dalam tempat yang resmi dan teratur, ditambah dengan agama ataupun kepercayaan adalah suatu hak kodrati yang sudah ada sejak manusia lahir, yang tidak dapat dikurangi dalam alasan apapun.
Di dalam Pasal 28E Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan utama bagi setiap masyarakat Indonesia untuk dapat memeluk atau menganut agamanya masing-masing, (agama yang diakui oleh Negara).
Dengan adanya aturan tersebut, maka negara wajib menghargai serta menghormati hak-hak atas kebebasan dalam beragama setiap masyarakatnya.
Secara Teori dan juga Prinsip, kebebasan ber agama sudah mencakup seluruh lingkup masyarakat kita (Indonesia) pada umumnya, namun sangat disayangkan masih banyak sekali “konflik pendirian rumah ibadah bagi masyarakat indonesia non-muslim”.
Contohnya, yakni kasus pelarangan membangun Gereja Bethel Indonesia (GBI) di maluku pada 2018 lalu, bahkan bukan hanya penolakan namun beberapa oknum setempat sampai melakukan penganiyaan, pengrusakan serta pembakaran pada properti wilayah GBI tersebut. Ada juga yang lainnya seperti penolakan pembangunan GKP dibandung laku GBKP di bali, dsb.
Hal-hal seperti ini dapat terjadi karena adanya dampak dari era globalisasi yang semakin cepat dan juga maju, yang menyebabkan masyarakat dapat dengan mudah mengakses banyak informasi dalam satu waktu, tanpa adanya penyaringan informasi terlebih dahulu.
Pemerintah sempat mengeluarkan cara sementara untuk meredakan ketegangan ini dalam “Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006” tentang pedoman pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam pemeliharaan umat beragama, namun faktanya pelaksanaan peraturan tersebut terhalang dengan SKB 2 Menteri.
Salah satu syarat administrasi yang dianggap sangat menghambat ataupun mempersulit pembangunan suatu rumah ibadah adalah diharuskannya dukungan masyarakat setempat seminimal minimalnya adalah 60 orang yang disahkan oleh kelurahan/kepala desa setempat.
Dalam kasus ini, pendirian rumah ibadah yang dipersulit tidak hanya terjadi atau berlangsung di negara indonesia saja, namun di banyak negara diluar indonesia pun terjadi, (mereka yang beragama minoritas dalam suatu negara tertentu).
Hal- hal ini terjadi karena adanya akulturasi budaya yang berbeda, gesekan budaya serta pandangan hidup yang berbeda beda sesuai dengan ajaran agama nya masing-masing.
Sekalipun hal-hal diatas sudah diatur dalam peraturan negara maupun dalam peraturan internasional yaitu “Pasal 4 jo Pasal 22 UU No 39 tahun 2009 tentang HAM” (beragama), seluruh regulasi yang sudah dijalankan sedemikian rupanya seperti tidak dapat meredam ataupun menghentikan konflik sosial diskriminatif dalam masyarakat kita ini, terlebih tindakan diskriminatif dari penganut agama mayoritas yang (fanatik).
Justru jika kita melihat sejenak daerah daerah dimana islam bukanlah mayoritas agama di daerah tersebut, izin pembangunan rumah ibadah terlihat lebih mudah didapatkan dan tanpa harus adanya intervensi maupun tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh masyarakat mayoritas di daerah tersebut (bukan islam).
Yang dikhawatirkan dengan adanya persyaratan administrasi ini adalah semakin banyaknya oknum oknum yang memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan uang panas dengan cara melarang larang pembangunan rumah ibadah dengan alasan administratif yang belum terpenuhi, ladang bisnis berbasis agama tertentu inilah yang justru akan menjadi awal merenggangnya hubungan sosial antara satu agama dengan agama lainnya dalam suatu negara, yang dapat menyebabkan perpecahan diantara saudara setanah air ini.
Harapan terbesar penulis adalah, dengan semakin majunya teknologi diharapkan pula semakin berkembangnya manusia menjadi lebih baik dan bisa memanusiakan manusia lebih lagi, Terima Kasih.
Sumber Referensi :
Azhari, Aidul Fitriciada. 2015 Catatan Kritis Konstitusi. Yogyakarta : Pandiva Buku
Komnas HAM. 2020. Kajian Komnas HAM RI atas PBM No.9 dan 8 tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadah. Jakarta
Quoted From Many Source