Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
JurnalPost.com – Politik adalah bisnis yang serius, bukan sampingan apalagi dagelan. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), satu-satunya partai politik yang mengklaim mewakili pemuda, anak milenial dan sekarang Gen-Z, tentu familiar dengan fakta itu. Sebagai salah satu partai politik termuda yang juga dipimpin oleh kaum muda, PSI pasti berhadapan dengan intimidasi partai-partai besar dan senior.
Dalam beberapa bulan terakhir, partai yang didirikan oleh politisi dan pengusaha Jeffri Geovanie ini terlibat dalam perang urat saraf kata dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai nasionalis terbesar dan tertua di Tanah Air. Titik pertikaian antara PDIP dan PSI adalah keputusan PSI untuk mencalonkan gubernur Jawa Tengah saat itu, Ganjar Pranowo, yang juga politisi PDIP Ganjar Pranowo, sebagai kandidat presidennya. PSI dicap tidak sopan karena secara publik mendukung Ganjar tanpa terlebih berkonsultasi dengan PDIP. Dalam pembelaannya, partai anak muda itu mengatakan mereka telah mencoba menghubungi PDIP, tetapi partai penguasa itu tidak menganggapnya secara serius.
Perang terakhir dengan PSI adalah ketika Ganjar menjawab dengan bercanda saat diminta pendapatnya oleh wartawan tentang namanya sebagai capres oleh PSI, “Apa? PSSI?” PSI kemudian menarik kembali dukungannya kepada Ganjar dan bergabung dengan partai Gerindra.
Yang perlu disadari PSI bahwa ini bukan perkara partai lain memandang rendah kepada PSI. Masalahnya adalah kegagalannya untuk menghasilkan kader politiknya sendiri yang dapat menarik suara. Sebetulnya ini masalah yang juga menerpa mayoritas partai politik, termasuk Partai Golkar, sebagai partai dengan pengalaman terbanyak dengan pemilu. Pengecualian hanya berlaku terhadap PKS yang konsisten sebagai partai kader.
Sampai saat ini, hanya PDIP yang berhasil memproduksi politisi yang populer dan berpengalaman untuk bertarung dalam pemilihan tahun depan. Jokowi telah menjadi anggota PDIP sejak dia mencalonkan diri pada tahun 2005 sebagai Walikota Surakarta di Jawa Tengah. Sementara Ganjar adalah anggota parlemen sebelum dia memenangkan kursi gubernur Jawa Tengah pada 2013. Wajar bila PDIP ‘murka’ ketika PSI menyabotase anggotanya untuk memenuhi ambisi politiknya menghadapi piplres.
Di samping idealisme politik, alasan utama PSI menominasikan Ganjar lebih awal adalah karena PSI berharap bisa membonceng untuk meraup suara dalam pemilu legislatif, seperti yang dilakukan oleh partai Nasdem dengan mantan gubernur Jakarta Anies Baswedan. Ini menjelaskan mengapa Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, didaulat sebagai Ketua Umum baru PSI. Padahal dia baru tiga hari menjadi anggota partai.
Sekarang kita perlu memberikan kesempatan politik kepada pemuda 28 tahun ini bahwa dia punya kecakapan untuk memimpin PSI, mampu menepis keraguan banyak pihak, termasuk pemilih dan simpatisan PSI sendiri. Namun demikian, jelas bahwa keputusan ini terutama didorong oleh tekad partai untuk mendapatkan kursi di DPR pada tahun 2024. Agaknya ini akan menjadi satu-satunya indikator kinerja Kaesang sebagai Ketua PSI ke depan.
Masalah lainnya dengan pertaruhan PSI ini adalah keputusan tersebut membelakangi meritokrasi, mengingat bahwa partai itu sebenarnya memiliki beberapa pemimpin muda yang sedang naik daun dan cukup lama menjadi anggota, seperti Raja Juli Antoni, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Faldo Maldini,
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) di bidang komunikasi dan media. Oleh karena itu, masalahnya bukan tentang usia Kaesang atau keistimewaannya sebagai anggota keluarga Presiden Jokowi. Isunya lebih kepada kurangnya pengalamannya dan ini menunjukkan proses politik yang cacat sehingga dapat melemahkan PSI sebagai sebuah institusi.
Sebagai negara demokrasi, kita membutuhkan partai politik. PSI, terlepas dari kekurangannya, adalah lembaga penting yang diharapkan akan meningkat seiring dengan kematangannya. Untuk melakukan ini, PSI harus bekerja dari bawah ke atas dan melawan godaan korosif oportunisme politik.
Quoted From Many Source