Oleh: Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang
JurnalPost.com – Praktik Neo-sufisme dalam masyarakat Muslim Indonesia tampak apa yang disebut Buya Hamka dengan Tasawuf atau Tarekat Modern. Tarekat adalah pelembagaan praktik dan gerakan kesufian. Tarekat harfiahnya berarti “jalan”. Jalan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah guna mendapatkan ridla-Nya lewat amalan-amalan ibadah yang terlembaga.
Pengolahan secara mendalam kesalehan individu (esoterik) meskipun memiliki kebaikan dalam pelembagaan praktik kesufian tersebut. Namun ia memiliki kecenderungan segi-segi eksklusif, dan bertendensi untuk disalahpahami oleh orang awam.
Esoterisme juga rawan menimbulkan kesesatan para penganutnya oleh adanya penyimpangan ajaran agama. Hal ini disebabkan esoterisme itu ternyata berurusan dengan intuisi atau cita rasa pribadi yang mendalam mengenai Tuhan. Esoterisme tak terkendali inilah yang ditakutkan dapat menjadi sumber kesesatan umum yang mengacaukan masyarakat.
Salah satu kesesatan atau penyimpangan dalam esoterisme beragama adalah kultus yang berdasarkan fundamentalisme agama yang salah tafsir. Kultus sendiri ialah bentuk gerakan spiritual (dan keagamaan) dengan sistem pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolutistik, dan kurang toleran.
Kultus mengarah pada perincian umum gejala penyimpangan keagamaan di seputar; pertama, pemujaan terpusat pada otoritas pribadi pemimpin dengan ketergantungan dan ketundukan penuh; kedua, pembentukan satu komunitas “orang-orang yang percaya”, dengan pengorganisasian yang ketat, dan kemungkinan sedikit anggotanya keluar; ketiga, oleh adanya pengorganisasian secara ketat ini, maka kesucian kelompok dan ajarannya menjadi vital, sehingga kerahasiaan merupakan hal yang amat penting;
keempat, oleh adanya pola kerahasiaan dan ketertutupan, maka sikap-sikap anti sosial atau bermasyarakat pada anggotanya merupakan hal yang biasa; kelima, munculnya pandangan dunia dengan semangat apokaliptik dan mileniarisme atau mesianisme (Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, 2000).
Kultus individu pada satu tokoh agama (Islam) dalam sejarah telah banyak melahirkan gerakan-gerakan mesianisme. Mesianisme sendiri merupakan paham datangnya seorang juru selamat yang bakal menyelamatkan umat manusia mewujudkan keadilan di muka bumi. Dalam Islam mesianisme mewujud akan adanya kepercayaan dalam umat bahwa Nabi Isa al Masih dan Imam Mahdi yang memimpin berdasarkan hidayah dari Allah.
Dalam konteks masyarakat Muslim Indonesia, paham ini lebih dikenal dengan Mahdisme. Mahdise sangat kuat berakar di kalangan Syiah paska represi politik yang mereka derita pada masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah. Mahdisme kemudian berkembang menjadi gerakan politik lewat karismatik seorang pemimpin yang mengangkat dirinya sebagai Imam Mahdi.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, Mahdisme merupakan bentuk perlawanan massa yang tertindas dengan harapan kebebasan dan keadilan. Meskipun begitu, menurut Cak Nur Mahdisme merupakan alternatif yang tidak boleh mengganggu Ukkhuwwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam) (Ibid).
Persoalan toleransi dalam kehidupan majemuk seperti di Indonesia salah satunya adalah bagaimana beradaptasi dengan dunia modern. Modernitas Islam sesungguhnya hal yang sudah “mendarah-daging” dalam masyarakat Muslim. Setidaknya hal ini tampak pada komunitas Islam awal di Madinah.
“Pada masa-masa awal, banyak pergaulan sosial yang berlangsung dengan lancar antara kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi. Meski menganut agama yang berbeda, mereka membentuk masyarakat tunggal yang di dalamnya perkawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentuk-bentuk lain kegiatan bersama berlangsung normal dan bahkan sangat umum”, (Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-Akar Islam Bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam (Bandung: Mizan, 1999); 101).
Toleransi idealnya menurut Cak Nur tidak saja bagaimana menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu terdapat hikmah atau manfaat sebagai sebuah prinsip sosial yang benar.
Guna memberi arah prinsip sosial tersebut peran agama adalah mutlak. Untuk itu, nilai inklusif dalam beragama Islam dapat menjadi alternatif mengisi prinsip sosial tersebut. Prinsip keterbukaan dan kebebasan yang sejati dalam satu pola kehidupan sosial umat muslim. Namun hal itu akan mewujud bila adanya sikap-sikap bertanggung jawab, jauh dari egoisme, dan vested interest sebagai bentuk prinsip keterbukaan serta kebebasan dalam kehidupan sosial umat Islam.
Sebagai mayoritas, umat Islam patut mengingat bahwa mereka dapat saja menjadi tirani, jika mereka menggelar kebebasan yang tidak terkendali dalam manifestasi keberagamaannya. Di tengah pluralitas masyarakat Indonesia, serta di atas kenyataan Islam agama mayoritas penduduk, sudah semestinya nilai keislaman itu menjadi milik umum.
Artinya available to all (gratis untuk semua) karena berharga. Jadi sesuatu yang betul-betul precious, betul-betul berharga, betul-betul dibutuhkan, itu harus dibikin gratis untuk semuanya, termasuk Islam, demikian pernyataan Cak Nur dalam banyak kesempatan.
Pemahaman inklusifitas Islam kaum Muslim Indonesia merupakan jalan terjal kaum intelektualnya. Pertama, mereka mesti menerima falsafah negara Pancasila dan mulai “mengikhlaskan” Piagam Jakarta tak lagi diungkit sekaitan peran Umat Islam. Kedua, mulai menjelaskan Indonesia bukanlah negara agama, namun berdiri tegak di atas agama yang ada di negeri ini. Para ulama, dai, buya, atau ustad mesti menjadi penyuara keindonesiaan di tengah umatnya, sehingga Islam benar-benar menjelma sebagai rahmat bagi seluruh alam, termasuk mereka yang non-Muslim.
Quoted From Many Source